Selasa, 28 September 2010

Ramadhan Pun Menangis

Pekerjaan yang paling menjemukan menurut orang adalah menunggu. Menunggu memang menjadikan sebuah ruang waktu seakan berjalan lambat, hingga kadang kita harus selalu menengok untuk memastikan bahwa yang ditunggu telah sangat dekat.

Ramadhan memang bulan yang selalu ditunggu oleh kaum Muslimin. Bulan yang didalamnya penuh kesejukan, rasa kedekatan diantara para tetangga maupun kerabat. Hilangnya semua kalkulasi tentang betapa berharganya sebuah nilai rupiah, tergantikan dengan betapa royalnya kita membagikan penganan tuk berbuka dan memanjakan diri untuk membenarkan membeli jajanan yang membuat menari di lidah kita masing-masing.

Ramadhan identik dengan makanan?

Itulah kebenaran untuk saat ini. Berapa peningkatan pengeluaran untuk konsumsi makanan di bulan ini. Coba lihat di sepanjang jalan, di pasar-pasar maupun di manapun kita berada. Saat Ramadhan sangat marak dengan penyajian para pemburu rupiah, dengan menggelarkan dagangan berupa makanan yang sangat menggiurkan untuk kita cicipi. Padahal buka puasa biasanya diatas jam enam sore. Tapi sekitar jam sepuluh pagi para penjual makanan sudah bersiap-siap untuk menggelarkan dagangannya. Hingga kita yang sedikit malas beraktifitas di dapur, membuat kita mudah untuk mengempeskan dompet untuk hal yang satu ini.

Belum juga Ramadhan tiba, beberapa ibu sudah sibuk membeli mukena, pakaian muslim untuk anak-anak maupun perlengkapan lainnya. Belum lagi untuk hiasan rumah, menu istimewa di saat lebaran. Semua biaya telah dihitung, untuk sebuah bulan yang dinamakan bulan penuh pengampunan.

Bagi yang punya penghasilan tetap setiap bulannya, juga pada sibuk mengirimkan sebagian bonus lebarannya untuk kaum kerabat di kampung. Menelpon sang kerabat, “lebaran dimana?”, atau, “udah punya baju lebarankah?” kadang juga menanyakan, “masak apa nanti kalo lebaran?”

Memang apa yang kita lakukan untuk membeli pakaian, perbaikan rumah maupun lainnya tidak salah. Tapi kegiatan maupun perencanaan untuk mengisi waktu-waktu berharga di bulan suci ini sepertinya terpinggirkan oleh keinginan duniawi kita yang sepertinya tak pernah kendur. Karena kita hanya sibuk dengan hal yang sebenarnya dapat kita lakukan diluar bulan ini.

Kenapa kita tidak punya perencanaan bernilai ibadah tinggi untuk meniti waktu demi waktu, atau mengingatkan kaum kerabat untuk mengisi hari-harinya secara optimal, dengan banyak beribadah yang telah disunnahkan oleh Rasulullah. Karena orang yang merasa rugi akan kecewa dengan kerugiannya. Begitu pula Ramadhan akan sangat disesali bila kita melewatinya hanya karena bulan ini memang harus kita lalui.


Ramadhan yang tersedia untuk kita pada setiap tahunnya, merupakan bonus yang berkilau. Memang semua orang yang mengaku Muslim tahu hal itu. Tapi tidak semua yang tahu tentang ini, dapat mengisi Ramadhannya sesuai yang seharusnya. Karena dari setiap waktu yang dilaluinya, yang dipikirkan hanyalah rupiah. Baik bagi penjual, bagaimana supaya barang dagangannya laku keras. Dan bagi konsumen, memikirkan bagaimana uang yang digenggamannya dapat ditukarkan dengan semua kebutuhan selama Ramadhan yang ternyata berlipat-lipat ini.



Ramadhan yang dipersiapkan oleh Allah Swt. Untuk membuat kaum muslimin mendapatkan kesempatan “menabung” pundi-pundi amal yang sangat spektakuler, ternyata masih ada diantara kita yang mengabaikannya.

Maka janganlah heran bila sang Ramadhan akan menangis. Bukan menangis karena merasa terpinggirkan keberadaannya, tapi Ramadhan menangis karena keberadaannya ternyata banyak digunakan hanya untuk hal yang sangat sia-sia.


Sengata,6 Agustus 2010
Halimah Taslima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar